Kesadaran massa yang bergerak, Photo: beritasatu |
Pengorganisiran massa agar menjadi kekuatan revolusi—menghancurkan musuh, merebut kekuasaan, mendirikan dan mempertahankan kekuasaan baru, serta merebut alat-alat/sarana-sarana produksi—adalah pekerjaan membangun massa sadar yang terorganisir dan berkekuatan. Makna massa sadar harus dilihat dalam dua pengertian: secara kognitif (kesadarannya) dan secara politik (tindakannya untuk berjuang). Massa sadar yang bertindak sebagai atau dalam pengertian kader, adalah massa maju yang berjuang membangkitkan dan berjuang bersama massa rakyat yang lain. Kader menjadi bagian dari setiap perlawanan massa, memajukan politik perlawanan tersebut, dan terus memperluas/memperbanyak massa maju atau kader lainnya di antara massa berlawan tersebut. Di sinilah pengertian kader sesungguhnya, sebagai kader revolusioner, yaitu selalu tidak pernah dan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan massa—sehingga berbeda dengan aktifis salon (menara gading) (yang tidak berada di tengah massa berjuang), ataupun pekerja sosial (yang tidak untuk memajukan massa (secara kognitif dan tindakan).
Pengertian kader dan pengorganisiran massa sebagaimana dijelaskan di atas adalah pengertian yang sekaligus menjawab pertanyaan: bagaimana kader tumbuh bersama kesadaran massa (yang masih masih reformis) dan memajukannya (menjadi revolusioner), sehingga batas kesadaran kader dengan kesadaran massa semakin menipis? Dengan demikian, pekerjaan membangun revolusi, dalam makna mendirikan pemerintahan rakyat (untuk memerintah dirinya sendiri) memiliki landasan nyatanya—nyata, benar-benar, sanggup mendirikan pemerintahan rakyat sendiri—karena massa telah memiliki kesadaran yang maju, memadai untuk mendirikan pemerintahannya sendiri. Kalaupun masih ada jarak antara kesadaran kader dengan massa, semakin hari jarak tersebut harus semakin menipis dengan semakin memajukan kesadaran massa. Saat perlawanan massa semakin meningkat dan meluas—itu artinya kesadaran dan tindakan (politik) massa sedang meningkat dan meluas—partai seharusnya dibuka untuk massa. Tapi itu bukan berarti organisasi revolusioner melepaskan kreteria-kreteria dalam rekruitmennya, bukan berarti melemahkan syarat-syaratnya namun, pengertiannya adalah: secara organisasional partai harus peka dan dapat dengan segera mewadahi massa yang kesadaran dan tindakan (politik)nya sudah/sedang maju/berkembang.
Pengorganisiran massa dan radikalisasi bertujuan memajukan dan menguji kesadaran serta tindakan (politik) massa. Pengalaman sehari-hari berada di tengah massa memberikan pengertian, dan sepenuhnya maklum bahwa: sekalipun massa telah sanggup menerima propaganda tentang revolusi, namun belum tentu massa tersebut siap bertindak memperjuangkannya—apalagi bila kwantitas massanya belum memadai, sehingga memang tindakan (politik) massa tidak boleh terlalu maju. Dalam situasi kontradiksi yang semakin tajam akibat meluasnya persoalan rakyat—terutama persoalan-persoalan mendesak yang gamblang terasa dan terlihat di depan mata oleh rakyat—hal terpenting dalam tahap awal menuju revolusi adalah bagaimana segala keresahan tersebut diorganisir (baca: disadarkan dan dimobilisasi) menjadi tindakan politik massa yang rapi, menjadi mobilisasi menuntut, serendah apapun isu yang sanggup dan akan diperjuangkan oleh rakyat. Mobilisasi tersebut merupakan wujud kongkrit, wujud nyata kesanggupan rakyat untuk memperjuangakan kepentingannya, ideologinya, yang tumbuh dari kesadarannya, atau merupakan tindakan (politik) utama yang menunjukkan dan menguji kekuatan rakyat sendiri. Bersamaan dengan mobilisasi atau tindakan politik tersebut, semakin hari juga harus dipastikan adanya peningkatan kesadaran dalam politik massa. Dan sekalipun radikalisasi atau mobilisasiini dilakukan secara bertahap, namun bukan berarti dalam pekerjaan penyadaran massa kita tidak boleh memberikan kesadaran tentang seluk beluk revolusi—baik dalam pengertian ideologinya, politiknya dan organisasinya; dalam pekerjaan menyadarkan massa, sedapat mungkin, kita tidak boleh menahap-nahapkan isian kesadaran tentang revolusi. Sehingga, walaupun massa sedang memperjuangkan tuntutan reformis, namun massa akan sadar bahwa perjuangan tersebut masih merupakan perjuangan reformis, belum revolusioner; itulah yang dinamakan kompartemen kesadaran revolusioner dalam lautan perjuangan reformis—yang secara bertahap, sesuai dengan syarat perluasan kesadaran revolusioner dan kwantitas massanya, akan berderap menuju revolusi. Kompartemen revolusioner tersebut—baik dalam pengertian kesadarannya, maupun para pekerja/aktivisnya—harus semakin meluas menutup/merubah kesadaran dan tindakan (politik) reformis.
Pengertian revolusi secara mudah bisa diartikan sebagai perubahan tiga hal pokok, yakni: 1) peningkatan tenaga produktif (productive force); bahwa peningkatan kemakmuran, yang berdialektik, berkait-berkelindan) dengan perubahan budaya (baca: nilai-nilai baik) dan aspek-aspek kehidupan lainnya, memiliki dan tergantung pada landasan tenaga produktif; 2) Perubahan hak milik atau transformasi pemilikan; 3) Perubahan kesadaran massa, terutama kesadaran untuk memerintah dirinya sendiri (transformasi dari demokrasi perwakilan ke arah demokrasi langsung). Dengan demikian, sosialisme (yang tenaga prodiktifnya dapat melimpahkan kemakmuran dan pemilikannya adil) justru memberikan landasan material bagi peningkatan potensi manusia sampai ke tingkat ke individu yang, sebelumnya, potensi (individu) tersebut tidak bisa berkembang karena landasan materialnya telah dirampas oleh pemilik/penguasa tenaga produktif. Potensi (semua) individu untuk menjadi dirinya sendiri akan sanggup dikembangkan.
Oleh karenanya perjuangan kognitif (kesadaran) harus disatukan dengan tindakan perjuangannya/pemwujudannya. Dan agar kesadaran lebih mudah dapat didorong menjadi tindakan perjuangannya/pemwujudannya, maka kita bisa berangkat dari persoalan mendesak rakyat, dari tuntutan-tuntutan darurat rakyat, dari persoalan yang kasat mata dilihat dan dihadapi rakyat.
Situasi sekarang, karena terus menerus terjadi peningkatan dan perluasan penderitaan rakyat, mengakibatkan meluasnya lautan kesadaran ekonomis (reformis) di kalangan rakyat. Bahkan kesadaran reformis tersebut ada yang belum menjadi tindakan perlawanan; kalaupun ada perlawanan, yang semakin hari semakin meningkat kwantitas dan kwalitasnya, namun masih belum terorganisir secara nasional dan masih belum bersatu, berserakan. Kesadaran rata-rata massa adalah kesadaran reformis, ekonomis, dan itu merupakan realita yang harus diakui (untuk diatasi atau dimajukan, bukan disalahkan atau ditinggalkan). Kita tidak boleh idealis: mengharapkan kesadaran sosialis akan dengan mudah diterima dan diperjuangkan massa, atau datang (dari langit) dan muncul (dari bumi) dengan sendirinya. Lautan kesadaran reformis tersebut harus disimpulkan penyebab kongkritnya, sehingga bisa ditemukan bagaimana mengobatinya agar menjadi kesadaran revolusioner dan dapat dimobilisasi untuk memperjuangkan ideologi serta kepentingannya (bahkan tuntan reformis/mendesak sekalipun). Bagaimana menghadapi dan mengatasi kenyataan kesadaran reformis tersebut, apakah hanya kita didik terus sampai mereka paham? Ya bisa saja, tapi lebih lama menyerapnya. Contohnya, pembangunan Taman Siswa--dalam pandangan kolonial Belanda adalah sekolah-sekolah liar--yang didirikan Ki Hajar Dewantara. Apabila tidak diletakkan dalam gerak perlawanan atau tindakan politik massa, maka pendidikan-pendidikan tersebut akan lebih sulit membangun massa sadar karena perjuangannya tidak menjadi nyata dirasakan dan disaksikan oleh massa sendiri.
Kesadaran akan tuntutan reformis tersebut didorong (baca: diorganisir) menjadi tindakan (baca: mobilisasi) politik massa (yang meluas, membesar dan menguat) dalam memperjuangkan tuntutan-tuntuannya (ekonomis sekalipun), berupa mobilisasi-mobilisasi massa yang menuntut. Wadah-wadah rakyat yang bertujuan untuk menuntut harus terus menerus diperluas dan disatukan, bahkan persoalan-persoalan mendesak (dan tidak mendesak) lainnya yang belum jelas bagi rakyat harus diungkapkan dan ditunjukan kepada massa (saking banyaknya persoalan, sehingga kadang saling tumpang-tindihnya tak terlihat, tak kasat mata, misalnya: pengamen yang selalu diburu trantib bisa lalai atas persoalan kesehatan dan pendidikan anaknya; dan sebagainya). Segala persoalan mendesak rakyat ini harus terus diolah menjadi basis perlawanan rakyat. Rakyat harus bergerak untuk menuntut atau memperjuangkan kesejahteraannya, dengan metode proletar dalam bentuk: aksi massa.
Tapi harus diingat, setiap perlawanan ekonomis dan reformis tersebut tidak boleh dilepaskan dari kompartemen sosialisme dan kesadaran sejati. Massa sadar atau kader sosialis harus terus menjadi bagian dari setiap gerak massa ekonomis ini. Kompartemen sosialis tersebut harus membesar dan terus membesar, walaupun awalnya kecil. Tidak boleh seperti piramid; tidak boleh dibiarkan massa yang maju tidak membesar atau mengerucut. Apa tugas kompartemen sosialis tersebut? Selain menjadi kekuatan termaju dalam mewujudkan kesadaran ekonomis massa menjadi tindakan politik (dalam isu yang paling diterima massa), tugas kader revolusioner tersebut sejak awal adalah mengisi tuntutan-tuntutan reformis tersebut dengan pengertian sejati (menjelaskan kaitannya dengan sistim kapitalisme), terus menerus menjelaskan penyelesaian revolusioner yang sesejati-sejatinya yang dibutuhkan rakyat sebagai jalan keluar bagi berbagai masalah yang dihadapinya. Walaupun wujudnya tetap tindakan (politik) reformis, tidak masalah, harus diterima sebagai kenyataan, sebagai cerminan kesadaran massa pada waktu sekarang. Karena itulah kita bisa berangkat dari kesadaran tuntutan reformis, yang akan didorong menjadi tindakan politik. Tapi sejak awal massa juga harus tahu bahwa jalan keluar sejatinya tidak bisa reformis, atau hal itu saja belum cukup. Jadi, rakyat tahu bahwa tuntutan tersebut hanya untuk sementara (sebelum kesadaran dan kwantitas massanya memadai), atau sekadar mengurangi kesulitan sehari-hari rakyat. Propaganda kaum revolusioner harus ditransfer menjadi pemahaman massa, walaupun perjuangannya masih seperti itu (masih reformis, masih berupa sekadar tuntutan yang bisa jadi dipenuhi pemerintah), atau belum sekaligus menyelesaikan semua masalah (karena penyelesaiannya belum ke akarnya) karena revolusi belum memadai syarat-syaratnya. Oleh karena itu, kesadaran massa harus diisi oleh pemahaman bahwa perjuangan reformis sekarang ini bukanlah akhir dari segalanya, atau perjuangan sekarang ini merupakan bagian dari suatu tahap dari arah revolusi. Karenanya, arah revolusi harus dijelaskan kepada massa secara lugas, gamblang, jelas dan kongkrit, dapat dimengerti rakyat. Massa harus sadar bahwa: seandainya pun negara/pemerintah (atau pihak yang dituntut lainnya) memenuhi sebagian atau seluruh tuntutan reformis tersebut, namun hal tersebut hanyalah merupakan kemenangan kecil karena desakan rakyat, dan sebagai bagian utnuk mendapatkan kemenangan sejati. Dan yang terpenting: mobilisasi massa tersebut bukanlah sekadar untuk menekan (bargain atau tawar menawar terhadap) negara/pemerintah (atau pihak yang dituntut lainnya); namun juga untuk memberikan contoh pada rakyat (terutama yang tidak berlawan) bahwa rakyat bisa memiliki kekuatannya sendiri, bahwa berjuang itu tidak mustahil, bahwa rakyat bisa memperjuangkan ideologi dan kepentingannya sendiri dengan kekuatannya sendiri, dengan politiknya sendiri—salah satunya, yang terpenting dan paling ampuh: dengan metode proletar; mobilisasi (aksi) massa. Sedangkan politik menekan, politik bargain, politik tawar menawar dengan menggunakan kekuatan rakyat--tapi hanya untuk kepentingan kelas lain (misalnya hanya untuk memperkuat tawar menawar terhadap elit atau kelompok/partai lain, untuk bersekutu dengan elit atau kelompok/partai lain, dan sebagainya--ADALAH SALAH—bahkan bisa melemahkan keyakinan rakyat atas kekuatannya sendiri. Politik bargain yang salah tersebut sekarang telah menjadi penyakit yang menghinggapi organisasi gerakan, dan tidak boleh dibiarkan.
Agar mewujud menjadi mobilisasi—dengan sebelumnya ada proses (tahapan) investigasi dan peningkatan kesadaran massa—maka sebelumnya harus ada kesanggupan dari organisasi revolusioner untuk mewadahi massa. Lautan kesadaran reformis massa tersebut, yang selalu ada di sebagian besar tempat karena selalu ada himpitan persoalan mendesak yang dihadapi rakyat, harus bisa ‘ditangkap’, harus bisa diwadahi terlebih dahulu. Pewadahan tersebut akan memudahkan proses pengorganisasian dijalankan di tengah subjektif organisasi yang masih kecil. Pewadahan tersebut bisa dilakukan dengan berbagai bentuk dan berbagai cara terutama, tentu saja, lagi-lagi, berangkat dari kebutuhan mendesak massa sekitar yang sudah diinvestigasi dan disimpulkan. Misalnya: 1) dengan mendirikan Posko Pembelaan Rakyat Miskin untuk Berobat Gratis, atau Posko Pembelaan Rakyat untuk Mendapatkan Pendidikan Gratis, atau Posko Pembelaan Rakyat untuk Mendapatkan BLT, atau Posko Pembelaan THR Buruh dan sebagainya (kita harus jeli menginvestigasi dan menyimpulkannya). Dengan posko tersebut massa akan diberanikan mengadukan persoalan-persoalannya, dan posko tersebut dengan demikian mejadi penampung, wadah, bagi rakyat yang mengadukan persoalan-persoalannya dan segera dibantu memperjuangkannya—sehingga berkesempatan mendapat kepercayaan rakyat (apalagi jika segera mendapat hasil seperti bisa mengobati rakyat miskin secara gratis di rumah sakit; bisa mengadvokasi buruh, dll). Bahkan dari keseriusan kita memperjuangkan saja—sekalipun belum berhasil—memungkinkan kita mendapatkan kepercayaan massa. 2) dengan selebaran dan alat-alat propaganda lainnya (kita harus kreatif menemukan alat-alat atau cara-caranya) kita propagandakan (posko) bantuan pembelaan/advokasi untuk mengurus persoalan-persoalan rakyat, agar bisa membantu mewadahi massa (dalam kantung-kantung massa) yang akan memperjuangkan persoalan-persolannya.
Kita harus maklum bahwa tuntutan buruh/rakyat masih reformis--masih dalam hal kepentingan mendesaknya--karena memang kesadaran dan kwantitas massanya belum memadai. Dan dalam memberikan jalan keluarnya, kita harus hati-hati: jangan sampai kita seperti dewa penolong di mata rakyat. Karena itu, dalam perjalanan pengorganisasian, kita harus dengan sabar membimbing, mendampingi rakyat agar mereka sendiri bisa mengadvokasi/membela dirinya, keluarganya, tetangganya, teman-temannya atau massa lainnya—bahkan setelah kita bisa mengadvokasi rakyat, kita dengan santun memohon agar rumahnya bisa dijadikan posko advokasi, apalagi bila dirinya pun bisa diyakinkan menjadi pekerja poskonya.
Ditulis oleh: Danial Indrakusuma
0 komentar:
Post a Comment
Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan PPRI. Kami berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan.
Untuk saran, koreksi dan hak jawab, pengiriman press rilis, artikel, photo, silahkan mengirimkan email ke: infoppri2015@gmail.com